26 Des 2008

MENAKAR PERAN SEKOLAH DAN BIMBINGAN BELAJAR



Era globalisasi menuntut kancah pendidikan untuk bisa melahirkan generasi yang siap bersaing dalam tataran global yang harus dituntaskan oleh semua elemen pendidikan. Manusia yang cerdas, sehat, jujur, berakhlak mulia, berkarakter, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi itulah yang di dambakan. Dalam konteks kualitas, mutu pendidikan di Indonesia harus terus ditingkatkan agar bangsa Indonesia mampu bersaing dengan negara lain.Target yang mestinya dipatok saat ini minimal ketiga ranah kompetensi yakni, keilmuan (kognitif), keterampilan (psikomotor), dan sikap (afektif) harus tertanam dalam diri generasi bangsa kita.

Oleh karena itu, pendidikan sebagai jalur utama pengembangan SDM dan pembentukan karakter adalah kata kunci dalam menentukan nasib bangsa. Hal senada diungkapkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada pembukaan acara E-9 Ministerial Review Meeting ke-7 di Hotel Westin, Nusa Dua, Denpasar Bali, pada awal maret lalu, menyampaikan bahwa kesejahteraan suatu bangsa bergantung pada ekonomi dan teknologi, sementara kemajuan teknologi bergantung pada pendidikan. Disini menekankan bahwa salah satu titik penentu pembangunan Nasional dipicu oleh sektor pendidikan. Dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989, juga termaktub tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia. Tentunya undang-undang ini tak lepas dari misi utama yaitu tercapainya tujuan nasioanal. Pada Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.
Jalur pendidikan sekolah yang dimaksud disini adalah jalur pendidikan yang dieselenggrakan oleh pihak sekolah yang berjenjang, dari tingkat SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Mengengah Atas). Sementara jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi kursus/lembaga pendidikn ketrampilan dan satuan pendidikan yang sejenis.

Bimbingan Belajar: Trend Baru Pendidikan
Dibelahan kota baik besar maupun kecil, lembaga pendidikan luar sekolah ini menjamur dimana-mana. Lembaga yang akrab dengan sapaan masyarakat dengan ‘tempat kursus’ atau ‘bimbel’ (bimbingan belajar) ini saling ‘bersaing’ antara satu sama lain, dengan menawarkan berbagai macam fasilitas, dan jaminan-jaminan keterampilan dari tiap level, baik untuk anak usia dini bahkan sampai kepada usia kerja. Maka tidak heran dalam waktu beberapa pertemuan saja, anak pun bisa membaca dan berhitung.
Ketika ditelusuri, kebanyakan dari mereka yang sangat tertarik dengan keberadaan bimbel ini adalah golongan menengah ke atas, dalam artian hanya orang-orang yang berduit, karena pihak lembaga atau bimbingan tidak segan-segan memasang harga tinggi kepada orang tua. Namun tetap saja orang tua masih mempercayakan anak mereka untuk dibimbing oleh para tenaga tutor (tentor) tersebut. Soal duit bukan masalah lagi, yang penting si anak bisa pintar. Nah timbul pula pertanyaan yang mengusik hati kita, yakni: apakah peran sekolah dewasa ini diragukan oleh orang tua?


Menengok akar dari permasalahan ini, bukanlah sebuah solusi yang harus diperdebatkan, akan tetapi perlu kiranya dicermati dan dipelajari oleh semua elemen sekolah dan tidak terlepas dari kita semua. Menurut hemat penulis terdapat beberapa faktor yang sangat mendasar mengapa para orang tua mempercayakan anak-anaknya untuk diajar oleh tentor di sebuah bimbingan belajar. Sedangkan jika ingin dibandingkan antara kompetable seorang guru disekolah dengan tentor di bimbel, belum ada standar yang jelas untuk orang tua siswa membandingkan mereka. Namun satu yang jelas, adalah persoalan kedisiplinan dan monitoring yang super ketat dilakukan oleh pihak lembaga.
Di lembaga bimbingan manapun, dalam hal ini mutu seorang tenaga pengajar, selain dari kemampuan dan keterampilan yang menjadi pokok pertimbangan utama untuk menjadi seorang tentor, yang tidak kalah pentingnya, adalah kedisiplinan yang wajib tertanam bagi seorang tentor. Hal ini bukan menjadi ukuran yang sepele. Ketika jam mengajar mereka (tentor) telah tiba, mau tidak mau pekerjaan lain harus mereka tinggalkan. Hal ini sudah mendarah daging bagi semua tentor. Berhubung karena konsekuensi yang berat mereka mau tidak mau harus disiplin pada jam pelajaran yang diamanahkan.
Namun tidak cukup hanya dengan kedisiplinan, pengawasan atau monitoring yang juga ketat dilakukan oleh pihak lembaga. Pihak bimbingan tanpa segan-segan mengenakan hukuman atau sanksi kepada siapa saja tentor yang melakukan pelanggaran. Selain pengawasan ketat terhadap kehadiran, pengawasan langsung oleh koordinator tiap bidang studi terhadap proses belajar mengajar juga sangat dititiberatkan oleh tiap bimbingan. Maka tidak heran, jika tenaga-tenaga pengajar bimbingan berhasil mengajarkan kepada siswa-siswa sehingga ketika dibandingkan antara siswa yang ikut bimbel dengan yang tidak, terlihat jelas perbedaannya.

Kesejahteraan Tenaga Pendidik
Selain faktor kedisiplinan adanya pengawasan yang cukup ketat dengan bermacam embel-embel aturan oleh pihak bimbingan, yang juga menjadi penunjang utama yakni salery atau gaji yang benar-benar menjamin kesejahteraan tiap pengajar. Kalau persoalan uang apapun bisa dilakukan. Begitulah gambaran seorang tentor. Apalagi rata-rata tentor-tentor di bimbingan merupakan mahasiswa yang notabene ingin menambah isi kantong mereka. Mengajar di bimbingan jarang sekali yang mengeluhkan tentang persoalan gaji, tergantung jumlah kelas yang diajarkan. Hitungan perjam sekian rupiah perkelas yang menjanjikan itulah membuat tenaga pengajar didorong untuk mengajar dengan semangat.
Kesejahteraan tenaga pendidik sangat menentukan keberhasilan guru dalam mengajar, hal ini sudah banyak terbukti. Baik guru di sekolah maupun di bimbel sama-sama mendapatkan tunjangan dan gaji, bedanya pada amount yang mereka terima. Gaji guru yang masih terbilang rendah sehingga, motivasi dan konsentrasi untuk mengajar di sekolah juga rendah, bagaimana tidak seorang guru PNS misalnya harus memikirkan dimana lagi lahan-lahan untuk menambah penghasilan perharinya. Sehingga fokus untuk mengajar siswa di sekolah dilaksanakan hanyalah untuk melaksanakan kewajiban sebagai tanggungjawab moral semata. Tidak untuk memajukan pengatahuan siswa atau berusaha membektuk karakter siswa yang pandai.
Bonafit tenaga pengajar bimbel benar-benar dikontrol dan dijamin dengan kesejahteraan yang memadai, dalam artian tenaga dan pikiran yang mereka keluarkan sebanding dengan apa yang peroleh (gaji) dan tentunya kesejahteraan yang menunjang pastinya mendorong motivasi mengajar, sehingga bukan hal yang perlu diragukan apabila tidak sedikit siswa di sekolah yang ikut bimbingan belajar diluar sekolah menjadi lebih pintar di banding siswa-siswa yang tidak ikut bimbingan. Ini merupakan sebuah realitas yang perlu dipahami ulang dan dicermati mestinya oleh guru-guru yang mengajar di sekolah. Karena secara tidak langsung bisa saja terbentuk opini publik bahwa siswa tidak pintar karena bersekolah di sekolah negeri tersebut, melainkan pintar karena mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah. Namun sangat sempit kiranya pemikiran seseorang jika menyimpulkan sedemikian rupa, akan tetapi dalam konteks lain, yang perlu dipetik dengan maraknya bimbel sekarang ini adalah bagaimana supaya guru-guru di sekolah (PNS) tidak kalah saing dengan para tentor di bimbingan belajar seperti sekarang ini.

Sebuah Tantangan dan Ancaman
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan suatu sistem pendidikan. Bagaimanapun sistem pendidikannya, jika guru kurang siap melaksanakannya tetap saja hasilnya sama "jelek". Sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang diterapkan saat ini, mestinya menjadi pedang yang tajam untuk menjadikan siswa pintar di sekolah. Dengan pemahaman yang luar biasa dengan memanfaatkan sebesar-besar waktu di sekolah, akan bisa menjamin proses belajar mengajar menjadi lebih baik.
Hal yang sama juga dilakukan oleh bimbingan belajar, mereka juga mengajarkan kepada siswa sesuai kurikulum yang berlaku di sekolah-sekolah umumnya, namun ada yang berbeda, mereka tidak berpatok pada elemen-pelemen kurikulum itu saja. Kurikulum yang berlaku haya dijadikan acuan agar pembelajaran tidak melenceng dengan pembelajaran siswa di sekolah. Disinilah perbedaan antara guru di sekolah dengan tentor di bimbingan, wawasan dalam mengembangkan kurikulum berbeda. Guru-guru di sekolah masih bingung bagaimana menerapkan sebuah kurikulum dalam PBM, akan tetapi para tentor tidak ambil pusing dengan mengikuti tiap-tiap isi kurikulum itu, yang terpenting adalah bagaimana bisa mengajarkan dan menjadikan siswa paham dan mampu menelaah suatu pelajaran sesuai dengan kurikulum dari masing-masing sekolah. Pemahaman mereka terhadap kurikulum termaktub pada kemampuan siswa memahami pelajaran tersebut. Dan lebih asyik lagi tentor betul-betul mengajar bagaimana teknik yang jitu dalam memberi pemahaman dengan cara yang sangat simple dan tidak menyulitkan bagi siswa.
Berdasarkan beberapa faktor diatas, hanyalah merupakan sedikitnya problematika yang dialami oleh guru-guru di sekolah umumnya (PNS). Sehingga bisa dikatakan bahwa posisi guru-guru benar-benar terancam dengan kehadiran tentor (tenaga tutor) di bimbingan yang menjamur di kota kita ini. Dan kehadiran bimbingan juga tidak bisa di nafikan karena eksistensi mereka (bimbel) benar-benar memberikan input yang sangat mendukung lahirnya generasi anak bangsa yang diinginkan. Ini terbukti dengan realitas yang terjadi di depan mata kita. Jika tidak ada respon terhadap problematika diatas, bisa saja suatu hari nilai tawar guru di sekolah menjadi tidak diakui di mata masyarakat. Kehadiran bimbingan belajar seperti sekarang ini, perlu dijadikan sebuah asumsi yang positif bagi pihak pemerintah pada umumnya dan sekolah-sekolah pada khususnya untuk lebih berdaya saing lagi dalam hal apapun, baik itu, kesejahteraan guru, persoalan kurikulum yang konon katanya berbelit-belit dan berbagai macam problematika lainnya.

PEREMPUAN DAN MASA DEPAN BANGSA



Disudut manapun perbincangan tentang perempuan tak kunjung usai, ibarat mata air yang tidak pernah kering, selalu menarik untuk dibahas. ‘Perempuan’ sudah menjadi globalization topic. Sehingga menimbulkan multiperspektif di kalangan pemerhati perempuan. Persoalan perempuan memang begitu banyak dan kompleks, semua itu sudah menjadi realitas obyektif yang tak bisa dipungkiri. Bermula dari pengakuan dan hak yang perlu diperjuangkan, adab pergaulan, keterbatasan dalam berkiprah baik dibidang apapun itu, kesetaraan gender sampai ke hal yang paling inti sekalipun masih saja dikupas tak henti-hentinya. Manalagi persoalan kemiskinan, kekerasan (violence),--baik yang berbentuk kekerasan fisik seperti pemukulan dan penyiksaan ; kekerasan emosional/psikologis seperti penghinaan dan pelecehan ; kekerasan ekonomi seperti trafficking (perdagangan) perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual dan pornografi ; maupun kekerasan seksual seperti pemerkosaan termasuk apa yang disebut sebagai pemerkosaan dalam perkawinan (marital rape).dan ketidakadilan/diskriminasi--sering disebut-sebut sebagai persoalan krusial yang dialami oleh perempuan dari masa ke masa.

Fenomena seperti ini masih saja menjadi topik utama dalam segala macam dialog dengan intensitas yang beragam baik dalam skala individu, rumah tangga/keluarga, masyarakat, maupun negara. Diakui bahwa banyaknya persoalan perempuan (woman’s accident) memang telah memunculkan simpati yang sangat besar pada sebagian kalangan. Tak heran jika ditiap perbincangan tentang perempuan tak lepas dari dari pembahasan ‘gerakan feminisme’. Kesadaran sebagian perempuan tentang hak yang belum memihak mengajak para kaum hawa ini nekad bersuara dan mengais keadilan di tiap penjuru penegak keadilan bagi perempuan. Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Tak kalah dengan ide kesetaraan (gender), kebebasan dan individualisme sebagai pemikiran pokok dari demokrasi yang intens. Para perempuan siap menyuarakan kebebasan mereka untuk berkarya layaknya kaum pria. Segala macam senjata ampuh yang mereka siapkan untuk mengangkat derajat kaum hawa di mata dunia. Apakah melalui gerakan-gerakan persaudaraan, bergelut di dunia politik, pencetusan ide-ide lewat tulisan atau di bidang apapun bahkan berasumsi bahwa tidak ada lagi perbatasan antara kaum pria dan perempuan.
.
Perempuan dan Politik
Wacana yang menarik dan lebih intens lagi di bicarakan saat ini adalah posisi perempuan dalam ranah politik. Salah satu wadah bagi perempuan agar bisa memperlihatkan eksistensinya. Bicara politik sesungguhnya bicara siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Yang terpatri di benak semua orang adalah pemahaman tentang relasi kuasa antar individu, perempuan dan laki-laki, kelompok masyarakat dan organisasi beserta segala persoalannya. Sedangkan jika merujuk kepada pemahaman konvensional maka politik diartikan semata-mata persoalan kekuasaan, negara dan jabatan tertentu. Terdapat pemisahan mengenai publik dan privat di dalamnya, padahal dalam kenyataannya, batas antara persoalan publik dan privat sangatlah abstrak, karena segala persoalan di wilayah publik akan berdampak pula jika dikatakan bahwa tidak ada batas yang tegas antara publik dan privat maka tentunya kiprah politik perempuan bukanlah sekedar keterwakilan mereka di lembaga legislatif, ataupun hanya muncul sebagai trend menjelang moment politik tertentu, karena pada hakikatnya perempuan adalah politisi untuk dirinya sendiri. Maka sesungguhnya 51% perempuan Indonesia adalah juga politisi, bukan hanya mereka yang duduk di legislatif..
Politik sesungguhnya telah lama mengalami penyempitan arti. Sejak dulu politik hanya dikaitkan dengan kekuasaan dan urusan negara padahal makna politik sesungguhnya adalah apapun yang berkaitan dengan hidup kita. Bagi perempuan, desakan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik adalah politik. Begitu juga cara mempengaruhi suami untuk mendapatkan hak nafkah adalah politik. Maka tidak heran di era elit ini para perempuan beromba-lomba ingin menduduki posisi di kursi kepemerintahan
Sementara dalam perspektif feminisme, perempuan selalu diidentikkan dengan kekuasaan dan legislasi. Sehingga ide pemberdayaan peran politik perempuan selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu menempatkan diri dan berkiprah di elit kekuasaan lembaga legislasi, atau minimal berani memperjuangkan aspirasinya sendiri secara independent tanpa pengaruh maupun tekanan pihak manapun. Padahal kenyataanya, masalah ada tidaknya hubungan antara kiprah politik perempuan seperti itu dengan tuntasnya persoalan perempuan masih sangat debatable.

Sebuah solusi
Perempuan yang modern lahir dengan penampilan yang anggun, berwawasan, cerdas dan mampu di andalkan sampai ke tingkat internasional sekalipun tetap saja namanya perempuan. Mereka lahir dengan segenap kewajiban dan haknya sebagai perempuan yang tak mungkin lepas dari kehidupan mereka. Ketika dipadankan dengan konsep feminisme dan kesetaraan gender, posisi dan hakikat kelahiran seorang perempuan terbantahkan dengan mentah-mentah. Konsep ini telah mendorong para perempuan percaya diri untuk berkiprah di dunia politik. Suatu hal yang sangat lazim di era global sekarang. Di sudut kota manapun, orang-orang sudah tidak heran lagi ketika sebuah kedudukan tertinggi alias pemimpin dijabat oleh perempuan. Sebuah anjakan yang drastis dan tentunya dilewati dengan perjuangan. Begitu besarnya nyali seorang perempuan yang ingin berkuasa dan sebagai bentuk aktualisasi diri.. Namun apakah perubahan ini menjanjikan sebuah hasil yang maksimal, dalam artian membangunkah sebuah bangsa itu? Ketika sosok perempuan Indonesia khususnya ingin menjadi penguasa, ingin duduk manis di kursi pemerintahan, siapa yang akan menopang pilarnya runah tangga, yang notabene peranan atau posisi seorang perempuan sangat ditentukan kejayaannya. Sedangkan menjadi sosok pemimpin (perempuan) harus siap sedia dimana, kapanpun dibutuhkan. Maka secara otomatis terbengkalailah pondasi keluarga ketika seorang perempuan (ibu) yang pada hakekatnya membimbing, menjalankan tugas dan amanahnya sebagai pemimpin sang buah hati, karena tuntutan masyarakat sudah pastinya lebih penting daripada tuntutan kebutuhan keluarga.
Disinilah kelihaian segelintir perempuan yang ingin berkiprah di dunia politik. Memahami ‘politik’ yang sempit dan berasumsi bahwa berpolitik hanya bisa diperankan di layar politik kenegaraan saja. Padahal berbagai macam cara untuk berpolitik, intinya orang berpolitik untuk menjadi pemimpin, untuk di dengarkan, untuk mengatur atau mendapatkan kekuasaan. Perempuan bisa saja berpolitik di lingkup rumah tangga. Mengapa tidak? Betapa berhasilnya seorang perempuan ketika mampu mengatur atau mengorganisir sebuah miniature keluarga nan sejahtera dan mampu memimpin anak-anaknya kearah yang baik. Secara tidak langsung peran perempuan dalam politik tertera dan turut membangun bangsa. Sebagaiman yang diketahui bahwa berjayanya sebuah bangsa berakar dari kokohnya sebuah keluarga. Nah disinilah semestinya perempuan menempatkan posisinya. Tidak harus berpolitik dengan urusan negara, karena disisi lain ada hal yang sudah menjadi kewajiban bagi seorang perempuan.
Dilihat dari sudut pandang religius. Sebagai dien yang menyeluruh dan paripurna, Islam memiliki pandangan yang khas dan berbeda secara diametral dengan pandangan ysng khas dan berbeda secara diametral dengan pandangan demokrasi dalam melihat dan menyelesaikan persoalan perempuan. Termasuk dalam memandang bagaimana hakekat politik dan kiprah politik perempuan didalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana diketahui Islam memandang bahwa perempuan hakekatnya sama dengan laki-laki, yakni sama-sama sebagai manusia, hamba Allah yang memiliki potensi dasar berupa akal, naluri dan kebutuhan fisik. Sedangkan dalam konteks masyarakat, Islam memandang bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki. Keduanya diciptakan untuk mengemban tanggung jawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah SWT sebagai pencipta dan pengatur mahklukNya. (QS.9:71,51:56).
Pada tataran praktis, Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan peran dan fungsi masing-masing dalam menjalankan kehidupan ini. Adakalanya sama dan adakalanya berbeda. Hanya saja adanya perbedaan dan persamaan pada pembagian peran dan fungsi masing-masing ini tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender. Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas yang dipandang sama-sama pentingnya di dalam upaya mewujudkan tujuan tertinggi kehidupan masyarakat, yakni tercapainya kebahagiaan hakiki di bawah keridhoan Allah swt semata.

EMANSIPASI PEREMPUAN




Sebuah pepatah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarahnya. Indonesia pernah terkungkung dalam cengkeraman penjajahan Belanda selama lebih kurang 3 ½ abad lamanya, ditambah lagi 3 ½ tahun dalam penjajahan Jepang. Mengenang jasa dan pengorbanan para leluhur dan pejuang bangsa Indonesia, mengingatkan kita sosok Pahlawan Nasional yang gagah perkasa memperjuangkan nasib kaum wanita. Tepat pada 21 April tahun 1879 lahirlah ibu pertiwi bangsa Indonesia yaitu Raden Adjeng Kartini atau lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini. Anak dari raden Mas Sosroningtrat yang berdarah bangsawan ini. Seorang tokoh jawa sekaligus dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Perjuangan Raden Ajeng Kartini merupakan hasil dari pengorbanan yang sangat besar terhadap bangsa Indonesia. Terutama berjasa pada kaum wanita. Sebut saja nama Raden Ajeng Kartini, nama yang tidak asing didengar. Emansipasi beliau sangat tinggi dalam memperjuangkan nasib kaum wanita yang ada saat ini. Namun apa masih ada Raden Ajeng Kartini saat ini? Sebuah pertanyaan yang harus kita jawab bersama-sama.
Kartini telah memberanikan diri untuk memperjuangankan hak-hak wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum layaknya sekarang ini, hal ini menggambarkan bahwa beliau merupakan sosok yang tangguh yang tak kalah dengan para perhuang lainnya. Perjuangan yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia tentunya tidak hanya sekedar merebut kemerdekaan. Masyarakat yang ada saat ini dituntut untuk harus mengingat bahwa kemerdekaan bukanlah akhir dari sebuah perjuangan. Wafatnya Kartini bukan berarti perjuangannya berakhir pula. Akan tetapi perjuangan itu menuntut kebijakan- kebijakan dan kreativitas yang akan mengisinya.
Beda zaman berbeda pulalah bentuk perjuangan yang harus dilakukan, Kartini memang hebat. Bisa-bisanya dia itu bikin emansipasi-emansipasi wanita segala. Dengan maksud biar para genduk ayu, neneng gulis, dan nona-nona bisa ikut belajar di sekolah-sekolah. Bisa hitung duit sendiri, bisa jadi pegawai kantoran, dan bekerja selayaknya pria. Namun bukan berarti melanggar kodratnya sebagi wanita. Fenomena terbaca didepan mata dewasa ini.salah satu contohnya.semakin sedikit wanita yang bisa memasak. Kalau seorang perempuan ditanya “Sayangku, kamu bisa masak nggak?” jawabnya “ah, sekarang kan zaman emansipasi, laki-laki juga harus bisa masak. Aku juga bisa masak sedikit-sedikit… bla.. bla.. bla”. Sementara itu, Chef terhebat dalam urusan memasak semakin didominasi lelaki.
Sekarang zaman sudah berbeda, wanita sudah berkeliaran di mana-mana. Di kantor-kantor, pabrik-pabrik, kasir Bank dan supermarket, manajer, mentri, bahkan bisa jadi presiden. 3M sekarang adalah Meeting, Make-up, and Make Money. Tidak hanya cantik dan wangi tubuhnya, wanita sekarang juga sudah seperti Kartini, Harum namanya, bukan lagi 3M dizaman Kartin yaitu, Masak, Macak, Manak (Memasak, Merias diri, Melahirkan). Sugiharti dalam tulisannya berpendapat bahwa sudah saatnya kaum wanita kembali kepada fitrahnya, yaitu berbakti kepada suami dan mendidik anak-anak. Betapa tidak, wanita (ibu) –menurut Ibu Sugiharti—memiliki andil atas tren yang ada pada dunia remaja dan anak-anak: pergaulan bebas, aborsi, narkoba, perilaku tidak pantas terhadap guru, pembangkangan terhadap orang tua. Kaum Ibu lebih banyak yang memilih untuk berkarir (baca bekerja) daripada melaksanakan peran mulianya, yaitu berbakti kepada suami, mendidik anak-anak dan menata rumahtangga yang tentram.
Fakta menunjukkan bahwa jumlah perempuan di negara kita jauh lebih besar dibanding dengan jumlah laki- laki. Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Umat Islam Menyongsong Abad ke-21 menuliskan bahwa perempuan berada diantara dua zaman kejahiliahan, yaitu abad ke- 14 dimana kemerdekaan perempuan dipasung, bahkan keluar rumahpun dianggap suatu aib dan sekarang di abad 20-an perempuan bebas sebebas- bebasnya hingga terkesan merendahkan martabatnya sendiri. Perempuan merasa bangga bila dapat menunjukkan lekuk tubuhnya dengan pakaian yang seksi, perempuan merasa senang bila dapat menjadi aktris atau supermodel, dan segala bentuk kebebasan yang cenderung menjatyuhkan dirinya tanpa ia sadari. Jumlah penduduk perempuan yang lebih besar dibanding laki- laki, sudah barang tentu perempuan menjadi bagian yang sangat penting bagi bangsa dan negara ini. Sehingga boleh dikatakan laki- laki dan perempuan di negara kita bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Laki- laki tanpa perempuan bagai malam tanpa bintang, bagai purnama diliputi awan kelam, bagai gulai tanpa garam. Mana mungkin sempurna laki- laki tanpa perempuan. Kepeloporan kaum wanita dalam pembangunan bangsa dan negara harus diupayakan agar setiap wanita memiliki jiwa kejuangan, keperintisan dan kepekaan terhadap lingkungan, minimal dalam keluarga, baik fungsinya sebagai anak, ibu, maupun masyarakat. Hal ini dibarengi pula oleh sikap mandiri, disiplin, dan memiliki sifat yang bertanggungjawab, inovatif, ulet, tangguh, jujur, berani dan rela berkorban dengan dilandasi oleh semangat cinta tanah air.
Perempuan Indonesia pada saat ini diharapkan sebagai sosok yang berpendidikan, berkualitas moral dan akhlak yang tinggi dan mulia. Perempuan merupakan suatu cerminan didalam sebuah negara, ia merupakan suatu tonggak yang sangat kokoh. Rasulullah SAW mendudukkan perempuan ke tingkat yang mulia sehingga diharapkan karyanya mensejahterakan bangsa dan negara : Perempuan adalah tiang negara. Apabila baik baiklah negara, apabila buruk maka hancurlah negara.
Bentuk perjuangan yang perlu ditonjolkan oleh wanita bukanlah berarti harus terjun langsung ke medan perang seperti kaum laki-laki lainnya, naun yang terpaling penting adalah kaum wanita mampu memposisikan ulang kodratnya sebagai ibu dalam keluarga.
Oleh karena itu, sejauh mana perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berperan aktif, apakah sebagai pekerja sosial, tokoh pendidikan, atau bahkan penegak hukum, tokoh politik, dan jajaran pemerintahan, sejauh itulah perempuan memiliki eksistensi sebagai pilar- pilar negara sehingga keberadaannya dianggap penting di setiap segi kehidupan bangsa dan negara.

MEMAKNAI NASIONALISME DAN DEMOKRASI



Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634 pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni) . Di sini ada 3 dari 6 pulau terbesar di dunia, yaitu : Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia dengan luas 539.460 km2), Sumatera (473.606 km2) dan Papua (421.981 km2). Sebuah rekor dunia yang perlu dibanggakan menjadi orang Indonesia. Juga tercatat sebagai pulau maritim terbesar di dunia dengan perairan seluas 93 ribu km2 dan panjang pantai sekitar 81 ribu km atau hampir 25% panjang pantai di dunia. Sehingga tidak heran jika SDA (Sumber Daya Alam) dan SDM (Sumber Daya Manusia) yang dimiliki juga banyak. Belum lagi perbabakan sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan tanah air bersama dengan para pejuangnya.

Termaktub dalam perbabakan sejarah, dalam pembangunannya, Indonesia memiliki para perintis dan pendiri yang patut diajukan jempol. Berpegang pada komitmen yang kental terhadap persatuan dan kesatuan bangsa ini. Setiap derap langkah yang digerakkan berbaur pada upaya perjuangan dan pertahanan bangsa. Inilah yang membawa Indonesia menjadi sebuah negara yang unggul. Jika dilihat dari perjalanan sejarah dan penggalan waktu, bangsa Indonesia bisa mencapai satu konsensus untuk tetap bersatu seperti yang terjadi pada tahun 1908, 1928, 1945 dan 1965, semua itu tidak dapat dilepaskan dari landasan kultural bangsa. Perbabakan ini tentunya merupakan bentuk dari semangat cinta terhadap tanah air Indonesia. Sejarah inilah yang membawa Indonesia pada tahapan sekarang ini. Namun apakah dengan mendongengkan sejarah saja cukup menjadi pembuktian terhadap sebuah aktualitas diri sebagai bangsa yang cinta akan negaranya? Sebuah realitas yang perlu dijawab dengan kesadaran moril individu secara khusus dan masyarakat pada umumnya.

Penjajahan Ideologi
Keunggulan Indonesia yang didukung dengan potensi SDA dan SDM yang dapat mengancam bentuk negara kesatuan harus di pahami secara general sejak dini. Potensi itu antara lain adalah faktor geografi, heterogenitas etnis, agama dan kultur, kesenjangan ekonomi dan sosial yang amat besar, pertikaian politik ideologis serta fragmentasi dikotomis.
Sadar atau tidak, Indonesia yang mengalami krisis multidemensi sekarang ini telah terjajah lagi. Namun penjajahan yang dimaksud tidak dalam bentuk fisik, melainkan dalam tataran ideologi. Kesadaran tentang hal ini masih minim diketahui, bukan karena, masyarakat sekarang tidak tahu, tetapi karena rasukan ‘kenikmatan’ yang melenakan Indonesia. Keadaan ini tentu berdampak pada integritas dan harga diri bangsa Indonesia yang berdaulat. Tidak satu atau dua kali bangsa kita dilecehkan, namun siapa yang mau melawan. Tidak dipungkiri, bentuk perlawanan yang terjadi Indonesia memang ada, Namun kekeliruan dalam perlawanan tersebut justru menjerumuskan bangsa ini menjadi terpuruk.
Zaman sebelum Indonesia merdeka. Bangsa ini dijajah dengan meriam (Secara fisik), dan para pejuang kita juga melawan dengan bentuk fisik pula, Berbanding terbalik dengan kondisi sekarang ini, bangsa ini dijajah tidak lagi dengan meriam, namun secara ideologi (Non fisik), maka yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana bisa berperang melawan dengan menggunakan ideology juga. tidak dengan aksi-aksi kekerasan yang sering terjadi akhir-akhir ini. Karena hukum secara universal yang berlaku baik di negara Indonesia sendiri maupun secara global tidak akan berpihak pada aksi kekerasan yang bisa mengancam perdamaian dunia. Jika hal ini tidak disadari, tidak mustahil Indonesia akan terlengser dan nasionalisme akan mengalami degradasi.

Peran Pemuda Indonesia
Dinamika peran pemuda dalam momen-momen penting dan perjuangan Bangsa Indonessia merupakan sebuah komunitas kecil dan bisa di kategorilkan sebagai kekuatan minority prophetic, yaitu kekuatan kecil yang bertindak seperti seorang “nabi” untuk merubah kondisi sosial kemasyarakatan. Sementara itu, pemuda juga menyandang beberapa predikat yang sangat lazim di dengar, yakni; agent of social change, social control dan moral force. Intinya, keterlibatan pemuda dalam alam reformasi dan iklim demokrasi hampar jika mereka tidak turun tangan. Namun pantas di pertanyakan secara kritis, kemana arah gerakan Pemuda dewasa ini. Sejauh mana kontribusi dan komitmen mereka dalam menciptakan kepemimpinan nasional yang kredibel, professional, akuntabel dan mempunyai integritas etika, dan moral?
Menyadari peran Pemuda yang memiliki andil besar dalam menciptakan bangsa yang berdaulat ini perlu kiranya diantisipasi sedini mungkin. Lantaran gejala-gejala eksternal yang bisa meruntuhkan akhlak, moralitas dan ideologi anak muda, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi. Dalam kaitannya dengan ‘nasionalisme’ dan ‘patriotisme’, semangat ini perlu dijiwai oleh pemuda-pemudi Indonesia terkhususnya, dan seluruh masyarakat pada umumnya.

Nasionalisme dan Demokrasi
Sedikit mengkritik tentang nasionalisme bangsa ini. Pendapat umum Indonesia tentang nasionalisme adalah suatu tata pikir dan tata rasa yang meresapi mayoritas terbesar sesuatu rakyat dan beranggapan bahwa dirinya meresapi semua anggota rakyat itu. Menurut (Wilson; 1978) sementara negara nasional sebagai bentuk ideal organisasi politik dan nasionalitas sebagai sumber bagi segala tenaga budaya yang kreatif. Arti kata lain nasionalisme adalah suatu ide yang mengisi otak dan hati manusia dengan pikiran baru dan perasaan baru, serta mendorong untuk menerjemahkan kesadarannya ke dalam bentuk aksi yang terorganisir. Dengan demikian, nasionalitas bukan semata-mata suatu kelompok yang diikat dan dijiwai oleh kesadaran bersama, melainkan juga merupakan suatu kelompok yang ingin mengungkapkan dirinya ke dalam apa yang dianggapnya bentuk tertinggi berorganisasi, yaitu negara berdaulat.
Nasionalisme yang di tampilkan oleh bangsa Indonesia sedikit berbeda dengan bangsa lain. Misalnya, sebelum ada ancaman terhadap bangsanya, baik dari internal maupun eksternal, nasionalisme bangsa ini, tenang-tenang saja, namun ketika ancaman atau gangguan itu datang barulah nasionalisme itu muncul. Nasionalisme bahkan tidak diperlukan guna perwujudan demokrasi. Nasionalisme tidak membentuk demokrasi, kebebasan individu dan persamaan hak. Nasionalisme Indonesia terbentuk lantaran mempertahankan kesatuan tanah air, dan bahasa, hal ini tertuang dalam Sumpah Pemuda. Berbeda dengan negara yang menganut otoriter-sosialis. Contohnya saja negara Taiwan, dimana nasionalisme mereka bangkit lantaran melawan otoritarime dan melepas cemkaman penjajah melalui demokrasi, (P. Kennedy, 1993). Sehingga nasionalisme mereka terbentuk karena demokrasi. Padahal sebenarnya, Indonesia juga melepaskan diri dari otoritarisme colonial, namun kesadaran pentingnya demokrasi dalam membangun nasionalisme tidak ada. Sebuah kesalahan pembentukan sejarah, namun bukan berarti bangsa yang ada sekarang harus mengalir dengan aliran sejarah tersebut. Menghargai dan menjunjung tinggi kedaulatan negara itu lebih baik daripada tidak melakukan bakti apa-apa terhadap negara Indonesia kita yang tercinta ini. Tentu tidak lepas dari pengaktualisasian diri serta menerima beban moral dan amanah dari para leluhur, pejuang tanah air Indonesia.
Nasionalisme dan demokrasi merupakan pasangan oposisioner. Kesejajaran antara kedua elemen tersebut merupakan inti dari kesuksesan sebuah bangsa. Tidak ada demokrasi tanpa nasionalisme, pun tidak ada nasionalisme tanpa demokrasi. Namun, kenyataan di Indonesia, nasionalisme dan demokrasi seperti konflik yang permanen. Kalau nasionalisme kuat, demokrasi surut. Kalau demokrasi menguat, nasionalisme meluntur. Gejala ini tampak menonjol setelah reformasi. Setelah masa tekanan panjang kekerasan nasionalisme selama Orde Baru, gerakan reformasi demokrasi bagai kuda liar lepas dari kandang. Eforia demokrasi membuahkan hasil dengan memisahkan diri dari negara kesatuan, seperti yang terjadi di Timor-timor, Aceh, RMS.
Dalam ungkapannya, Amin Rais tahun 2003 lalu, masa depan NKRI akan mengalami degradasi nasionalis apabila antisipasinya tidak rasional, sistematis, dan empiris dilakukan. Oleh karena, seluruh elemen di seluruh Indonesia harus sungguh-sungguh menangani gejala ini agar Indonesia ke depan tetap eksis sepanjang masa. Penyamaan persepsi dan pemahaman terhadap nasionalisme dan demokrasi perlu dipahamkan secara detail dan tidak menimbulkan kekeliruan agar supaya tidak terjadi kesalahan dalam mengartikan arti sebenar kedua item ini. Tidak cukup dengan pemahaman yang benar saja, akan tetapi tahu bagaimana menempatkan posisi yang benar dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi. Berangkat dari kehidupan yang demokratis maka akan tertanam pula jiwa nasionalisme bangsa Indonesia.

Hakekat Berbangsa Indonesia
Ditinjau dari latar belakang sejarah, Indonesia dengan tegas menyatakan sebagai sebuah sistem kehidupan yang antipenjajah (kolonialisme), anti-imperialisme. Berangkat dari faham-faham inilah yang akan membawa Indonesia untuk mempertahankan martabat, harga diri bangsa ini. Sebagai pelonco masa depan negara, pemuda-pemudi haruslah menyadari betapa besarnya tanggungjawabnya sebagai pemegang amanah dalam menentukan liku-liku perjalanan Indonesia kedepan.
Menerima hakekat sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah kenyataan yang tidak akan bisa dinafikan. Hadir dan lahir di tanah air Indonesia merupakan sebuah kesyukuran yang mestinya dilakukan oleh anak bangsa Indonesia. Melihat, merasakan apa yang terjadi di bumi Indonesia ini mestinya menggugah semangat kita untuk memperbaiki segala unsur tataran kehidupan agar menjadi lebih baik, menjaga nama baik bangsa dari pelecehan-pelecehan yang bisa menjatuhkan harga diri negara Indonesia, melestarikan khazanah-khazanah yang dimiliki baik itu karya manusia maupun yang alami, dan yang paling penting adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban, baik sebagai rukun bernegara, maupun sebagai khalifah Yang Maha Kuasa. Tentunya ada tujuan yang ingin dicapai, sehingga semua berjalan selaras dengan kehidupan yang harmoni, tetap menjaga jiwa yang nasionalis dan di barengi dengan sikap yang demokratis serta sportif dalam menghadapi tantangan kehidupan kedepan.
Dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) sesuai UU No 39 Tahun 1999, pemuda sebagai kekuatan moral harus bersifat objektif, dan benar-benar berdasarkan kebenaran moral demi harkat dan martabat manusia. Terbentuknya pemuda yang nasionalis dan mampu memahami makna demokratis bukan democrazy akan menopang pilar bangsa Indonesia. Indonesia menanam harapan besar terhadap generasi muda sebagai sumber manusia muda (young human resources) atau sebagai sumber tenaga kerja potensial (potential man power) yang terampil, serta mempunyai imajinasi dan daya terap untuk berjuang. Indonesia hari ini mencerminkan Indonesia hari esok, pemuda hari juga mencerminkan pemuda hari esok.